Coretan-Coretan Revie

aku disini bermimpi, mencari-cari, dan berusaha menggapai,,,,,,bintang yang lekat di dinding langit....

Penari Hujan

Penari Hujan


Seperti biasa, Ranting menari tanpa sehelai benang di Jembatan Ampera, Ia tanggalkan satu persatu pakaian yang lekat di tubuhnya. Berserah, kata-kata yang selalu ia ucapkan ketika melucuti pakaiannya. Ampera ia anggap sebagai panggung tempat kuasa, ia sebagai penari ahli sang maestro yang menghibur siapa yang hendak dihibur. Malam tepat pukul 00.00 WIB, ketika semua orang sibuk membuat garis kerut dibantal, ketika orang sibuk bermimpi atau menanti suami pulang malam. Maka Ranting, hanya menanti kapan ia lebur, lebur jadi satu dengan bumi. Layaknya upacara pagi hari pengibaran bendera, wajib, mesti, dan harus. Rutinitas ini, menyenangkan baginya dan menyenangkan bagi semua yang menatapnya.
Mulailah ia menari dengan tangan yang ia kepakkan seperti burung. Maknanya kebebasan. Ia menguasai panggung, dingin tak jadi soal, air sungai Musi dengan mesranya melenggak-lenggok di bawah kangkangan Ampera. “Kata nenekku menarilah sampail, badanmu seolah-olah terbang, tidak merasakan apa-apa. Ketika ragamu melebur bersama udara, maka kamu mencapai puncak dimana kau telah menjadi satu dengan bumi.
Ia mulai melenggok, menyilang-nyilangkan kakinya, yang jenjang seperti mengejar sesuatu dengan angkuh tapi indah. Ada sedikit mantra, geraman, lemah namun penuh gairah, ia ucapkan seperti nama, Bumi, Bumi, Bumi,,bummmm,,,,iiiiiiiii,,,,,,,,,,,,,,ia melenggok tambah cepat, kendaraan yang berlalu lalang terkadang berhenti sebentar untuk memastikan bahwa wanita itu gila atau memastikan bahwa ia mantan penari telanjang yang entah mengapa dan karena apa, menjadi gila.
Nenek satu-satunya wanita yang menginspirasinya, menari adalah keindahan. Menari adalah kesenangan. Semua memiliki tarian yang merupakan simbol, menikah kita menari, sedih kita menari, lahir kita menari, bahkan mati pun dirayakan dengan tarian.
“Oh,Bumi, aku ingin melebur, aku ingin jadi satu, bersamamu. Ia memutar dari ujung ke ujung, melenggok kadang menghentak seperti marah. Tubuh kuning langsatnya yang benar-benar indah tapi mistik.
Dua jam, sudah cukup untuk Ranting menari, untuk mencapai tingkat lebur yang belum sempurna. Peluh membasahi tubuhnya yang membuat laki-laki bias mati gelagapan menahan hasrat. Ia kembali mengenakan pakaiannya, satu-persatu, kembali seperti manusia normal dan pikiran yang normal. Ia berjalan entah kemana, tiba-tiba saja hilang dari pandangan mata.
Pagi hari, laki-laki yang gemar mengambil foto, entah mengapa hari ini malas mengambil gambar-gambar seperti biasa. Ia sibuk mengamati foto-foto yang awalnya tak sengaja ia tangkap namun akhirnya menjadi rutinitas, sehingga objek lain yang paling menarik dan unik pun kalah. Ia tak ingin berpaling,objek barunya adalah inti keindahan. Ia sangat puas mendapatkan apa yang ia cari selama ini.temanya bebas dan lepas.
Objek yang tak mau ia bagi-bagi bahkan dijual, cukuplah ia yang menikmatinya sendiri. Keindahan setiap inci yang membuat ia mabuk dan ketagihan, menanti rupanya, lama layaknya menuggu pelangi setelah hujan,benar-benar idah dan lenyap begitu saja. Tidak ada yang bias menggantikkan waktu yang ia tunggu. Ia tak pernah berhenti berfikir xxxxxxxxxxxxxxxxxx BERSAMBUNG XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX

Pelangi Patah di Krakatau

Salahkah kulitku yang berkerut ini masih menantimu
Pada belahan kain tapis ini, bukti cinta
Aku masih menunggu Pelangi, di sini
Aku tidak gila, hanya buta,
Sampai ajal, aku menunggumu,
Pada bibr pantai ini
Disaksikan Asap Anak Krakatau

Saat lepas fajar, Dalima berdiri di bibir pantai, rambut panjangnya yang hampir semuanya ditutupi oleh uban melayang di hembus angin pagi. Angin itu, angin pagi, sudah pasti tidak ada pelangi namun Dalima masih menunggu. Memandangi anak gunung purba atau yang lebih dikenal dengan Anak Krakatau adalah wajib hukumnya. Gunung itu memiliki kekuatan yang penuh kenangan, harapan serta penantian mungkin sampai Izrail datang menjemputnya. Ketika itu surya mulai tampak menyembul seolah-olah keluar dari dalam laut dan perlahan-lahan menembus awan, sinarnya mulai menerpa wajah Dalima yang sudah berkerut dimakan usia,namun sisa kecantikan masa mudanya masih terlihat dengan hidungnya yang mancung, dua lesung pipinya, serta senyumnya yang begitu ayu tanpa gincu. Sudah lima puluh tahun Dalima tak pernah absen menyetorkan mukanya di bibir pantai ini tepat seusai fajar.
Dalima memang tidak lagi muda, sudah berpuluh-puluh tahun, ia tinggal di pulau ini, Pulau Sebesi namanya, pulau yang dengan luas 2.620 ha dengan panjang pantai 19,55 km. Bila dilihat dari peta, pulau ini berbentuk hampir bundar. Akan tetapi, sayang sekali dalima tidak pernah tahu apa itu peta karena ia tidak berkawan denga peta, buku, apalagi sekolahan. Akan tetapi, yang ia tahu hanya cinta. Krakatau inilah yang membuat ia jatuh cinta serta keberuntungan gunung ini yang membuat masyarakat pulau sebesi ini bisa bertahan hidup. Banyak wisatawan yang berkunjung untuk melihat anak gunung tersohor ini yang pernah meledak dan menimbulkan debu yang dilontarkan ke angkasa menutup sinar matahari dan mendinginkan bumi.
Dalima dipanggil wanita gila yang pintar membuat kain tapis. Tidak ada yang bisa mengalahkan keahliannya membuat kain tapis khas masyarakat lampung. Gubuknya penuh dengan alat-alat pembuat kain tapis mulai dari Sesang, Terikan, cacap, belida, kusuran, apik, guyun, ijan, terupong, sekeli, amben dan tekang. Dari tapis inilah ia menemukan cinta dan pada Ranting ia juga menemukan cinta. Bocah kecil yatim piatu yang berumur 2 bulan ketika ia temukan berada di bawah ranting yang akan dibakar kini telah berusia 7 tahun. Dalima menabur cinta bersama gadis kecil itu, di dalam gubuk itu. Gubuk sederahana dengan 2 kamar, satu ruangan multi fungsi sebagai ruang tamu dan dapur. Satu kamar sengaja dikosongkan dan rajin dibersihkan, kalau saja ada wisatawan yang ingin bermalam di rumah ini. Mereka mengukir cerita diantara tenunan kain tapis yang berada di tengah ruangan dapur atau bisa juga disebut ruang tamu. “Ranting, mau kemana?” ujar Dalima sambil memasak nasi dari kayu bakar. “Mau kesana nek?” sambil menunjuk pasir putih yang berkilau diterpa matahari siang hari.
Ranting berlari lincah, telapak kaki kecilnya kadang-kadang terbenam di pasir, membuat jejak-jejak cantik di pantai dan dalam hitungan detik terhapus lagi oleh ombak,namun hanya ranting yang menganggap Dalima waras. Sebagian besar orang pulau ini menganggap Dalima sudah gila karena setiap usai fajar, kerjaannya hanya menatap Anak Krakatau, sambil menggenggam sepotong kain tapis yang sudah lusuh dengan uraian air mata, tanpa bicara apa-apa, matanya kosong menatap gunung itu, seolah-olah ia telah disihir dan dihisap untuk setia pada Anak Krakatau. Untuk mengisi kekosongannya menanti fajar esok, Dalima menenun kain tapis dengan motif dan warna yang benar-benar cantik. Sudah cukup banyak kain tapis yang dihasilkan oleh Dalima yang nantinya akan dibeli oleh wisatawan sebagai cindera mata dari Lampung Selatan tepatnya dari Pulau Sebesi ini. Selain itu, penghasilan tambahan yang ia dapatkan ialah dengan menyewakan satu bilik kosongnya bagi wisatawan yang ingin menikmati keindahan pulau sebesi dan anak krakatau, itu pun jarang. Jarang sekali.
Bulan ini, bulan berkah, bulan liburan anak sekolahan, biasanya Pulau Sebesi banyak kedatangan wisatawan, mereka datang dengan banyak alasan, untuk snorkeling, berenang, menenangkan diri dari kebisingan kota, dan yang paling utama adalah menikmati keindahan Anak Gunung Krakatau yang siap memuntahkan laharnya kapan saja. Bulan ini Sebesi akan ramai, “Ah, aku jadi teringat 20 tahun lalu tepat bulan pada bulan ini, seperti inilah, aku mulai jatuh cinta”


bersambung ***

PKM GT 2010

Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Ditjen Pendidikan Tinggi Depdiknas menyelenggarakan Program Kreatifitas Mahasiswa Artikel Ilmiah (PKM-AI) dan Program Kreatifitas Mahasiswa Gagasan Tertulis (PKM-GT). Untuk mahasiswa Program S1 dan Diploma dalam bentuk artikel karya mahasiswa/kelompok mahasiswa. Peserta terbaik Tim Penilai akan memberikan bantuan Rp.3.000.000. Serta Peserta terbaik PKM-GT akan diundang untuk mengikuti PIMNAS XXIII Tahun 2010


Alhamdulilah gak nyangka,,walaupun kami nggak maju ke PIMNAS,,,tapi Proposal PKM GT kami diterima dan didanai oleh DIKTI. Terima kasih kepada dosen pembimbing kami Buk Santi Oktarina, S.pd, M.pd dan Drs. RHM. Ali Masri beserta Sultan Palembang yang membantu kami dalam membuat proposal ini.
Kami mengangkat judul "Konservasi Kebudayaan Palembang Melalui Pendidikan"
Kelompok ini terdiri dari
Ketua : Revie Juniarti
Angota: Rafika Ratri Nanda
Henny Pratiwi
kami adalah mahasiswa Universitasa Sriwijaya,Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidkan (FKIP) Jurusan Pend. Bahasa dan Seni, Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah, angkatan 2007

Alhamdulilah dari 5233 Judul diseleksi menjadi 1112 Judul,,, dan kami termasuksalah satunya, kami juga ucapkan selamat bagi anak UNSRI yang proposalnya juga diterima,,,,Selamat ya :)



Sekolah Jurnalisme Indonesia merupakan sekolah jurnalisme pertama di Indonesia, yang memiliki tujuan Penyelenggaraan pendidikan Sekolah Jurnalisme Indonesia bertujuan untuk:

1. Meningkatkan profesionalisme para wartawan, agar mereka memiliki kesadaran dan tanggung jawab terhadap profesi yang diembannya.

2. Membekali agar peserta didik memiliki kompetensi keterampilan di bidang tugas dan tanggungjawabnya.

3. Meningkatkan wawasan wartawan, memperkuat idealisme dan memiliki integritas kuat dalam mengemban tugas-tugasnya sebagai wartawan profesional.

4. Membekali kesadaran wartawan agar beretika dan berkepribadian, memiliki motivasi kuat untuk terus belajar selama ia menjalankan tugasnya sebagai wartawan.



Saya mahasiswa yang aktif di Organisasi Pers Mahasiswa Gelora Sriwijaya (Universitas Sriwijaya) sebagai reporter. Alhamdulilah saya dan teman saya Arinah diberi kesempatan untuk bergabung dalam sekolah ini pada angkatan ke 3.



Kepalah Sekolahnya adalah Pak Iman Handiman


Pertama sekalih masuk sekolah ini,,,,Vie minder karena ngerasa cuma Anak Pers Kampus yang minim pengalaman bergabung dengan wartawan media cetak dan elektronik di Sumatera Selatan ternyata kakak-kakaknya baik-baik,,,


Sekolah ini sangat ketat,,,setiap hari ada pre test dan post test,,,tugasnya bejibun,,,,(Ampunnnnn,,hehehe,,tapi Asyik)pakek sistem Do (drop out) dalam angkatan kami ada 2 yang kena Do dan satu yang nggak lulus

Pengajarnya juga 98% berasal dari luar Sumsel(dari Waetawan senior kompas, antara, warta kota de el el,, banyak deh) yang semuanya merupakan wartawan yang memiliki kredibilitas di bidangnya,,,,

oh ya mau kenalan dengan siswa SJI angkatan 3 yang lulus ,,,yang cantik dan keren??????
ini dia daftar namanya

1 Amiriansyah, Berita Pagi
2 Anton Radianto Fadli, Berita Pagi
3 Aprianto, Palembang TV
4 Arinah Fransori, LPM Gelora Sriwijaya
5 Arris Ferditian, Radar Palembang
6 David Karnain Pahlefi, Radar Palembang
7 Edward Desmamora, Sumatera Ekspres
8 Ela Armila, Sumsel Post
9 Emi Afrilia, Majalah Arung
10 Febri Hardiyani, Majalah Arung
11 Firman Hidayat, Palembang TV
12 Friday T. Kurniawan, Suara Nusantara
13 Hensyi Fitriansyah, Koran Harian Topskor
14 Hesty Ana Astutiana, Sriwijaya TV
15 Jon Golkar, Radio Trijaya FM
16 Mamnuro’aini, Palembang Pos
17 Mellyamaliza Tambunan, Sentral Pos
18 Nila Ertina, LKBN Antara
19 Revie Juniarti, LPM Gelora Sriwijaya
20 Rian Resesi, Radio Sonora Palembang
21 Rini Pujiati, Sumsel Post
22 Ujang Idrus, LKBN Antara
23 Yudhi Afriandi, Sumatera Ekspres



Alhamdulilah kami lulus dan tinggal menanti hari WISUDA,,,,,,,,,,,



nanti di sambung lagi ya,,pas foto-foto dan cerita kami pas di Wisuda,,,,,,Bye Bye


Duh,,,Udah lama gak nulis di Blog,,,,,,,,,
Kangen,,bangettt

Oke,,,,,, Vie mau cerita nih,,,,,,

Alhamdulilah,,,,, kemarin ikutan,,,, lomba yang diadain kompas buat menulis tentang Sungai Musi,, Sungai kebanggaan masyarakat kota Palembang. sebernya sih iseng aja,,,
vie nulis tentang "Kemilau Sungai Musi". Vie Bener2 gak nyangka itu bakalan menang. tiba-tiba pas di Bus dari Kampus Indralaya ke Palembang, ada yang nelpon. ternyata, itu dari Kompas Jakarta, Katanya Vie menang, Alhamdulilah

Akhirnya 28 April 2010, pembagian hadiah di Arya Duta. Alhamdulilah lagi Vie dapet Juara Harapan 2, masing-masing 6 Pemenang diberi hadiah yang sangat menarik (hore,,,banyak duit)

yang paling mengejutkan,,,di atas podium, Gubernur Sumatera Selatan, memberi masing-masing pemenang, 1 unit Laptop Acer Aspire 4732Z,,,,,,,,,(makasih Pak Alex)


Semoga dengan hadiah yang diberikan Pak Alex dan Kompas akan membuat kami tambah semangat menulis,,,, Amieeeeennnnnnnnnnnnnnnnnnnnnn

SINTING

Abu rokoknya menerpa mukaku. Seringkali aku menarik nafas dalam-dalam dan ku hembuskan udara dari mulutku sehemat-hemat mungkin agar tak terhisap asap rokoknya. Udara malam ini cukup dingin bahkan ia membuatku tiga kali bolak-balik ke toilet. Aku menunggu kesempatan ini, ketika Rio, kakak laki-lakiku yang tergila-gila terhadap rokok jenis apa pun bercerita padaku tentang arti hidup tepatnya arti hidup bagi dirinya. Diam-diam aku sangat mengaguminya. Umurnya yang sudah 35 tahun membuatnya banyak memberikanku nasihat beserta motivasi. Semakin tua semakin matang. Mungkin.

“Jangan sekali-kali kau berteman dengan wanita yang suka pergi malam-malam”, suranya memecah lamunanku dan membuat aku terhisap asap rokoknya sekali lagi. “Apa hubungannya denganku?” tanyaku heran. “Ya, Lulu itu maksudku, ia suka pergi malam-malam, temanmu kan?”, puuuus…..asap rokok menutupi mukanya. “Iya sahabat”, jawabku dengan tangkas. “Huh, apa syarat-syaratnya biar dua manusia seperti Kau dan Lulu bisa bersahabat?”, lagi-lagi Kakakku bertanya. “Hanya satu syaratnya yaitu hati, hati kak!”. “Persahabatan itu perlu hati yang tulus”, ujarku. Kakakku sepertinya tidak setuju. Ia berkata padaku sambil mencibir “Hati itu bisa menipu, Dina”. Aku agak heran mengapa malam ini kakak kelihatan berbeda. Tak sependapat denganku.

Lulu, sejak kapan kakaku perhatian dengan temanku padahal setiap hari yang kami perbincangkan adalah tentang kami bertiga kisah tentang Aku, Kakak, dan Ibu. Walaupun cerita kami lebih di dominasi tentang cara kakak memandang dunia. Pecandu rokok itu selalu mendengarkan keluh kesahku namun hari ini berbanding terbalik seratus delapan puluh derajat. Perbincangan kami di bawah bintang kini menjadi ajang curhat kakakku. Aneh, seorang Rio bercerita tentang cinta. “Cinta itu lebih candu dari rokok, cinta itu lebih beracun, mematikan”, ujarnya. Aku mendongak menatap bintang-bintang, pria ini sedang gila. “yang pasti cinta itu tidak murahan seperti rokokmu”, murah ku tekankan sekali lagi. Rio tertawa menurutnya bukan cinta yang murah tetapi wanita itu murah. “Huh pendapat ahli dari mana?”Aku naik pitam. Kali ini pembicaraan Ku dan Kak Rio mulai ngelantur ke arah dunia yang sama sekali tak mereka kenal yaitu cinta.

Aku mencerna bulat-bulat dan menarik kesimpulan dari wajah kakakku. Dari cara dia mengucap kata cinta dan dari tiupan asap rokoknya sungguh aneh hari ini. Cinta bisa buat penyakit. Tidak ada pekerjaan lain, ia kini sinting, Kak Rio sering pergi malam. Dia berdalih saat malam lebih banyak cinta. Cinta itu bisa hinggap di puntung-puntung rokok. “Sinting”, benar-benar kakakku. Aku tidak mengerti jalan pikirannya. Aku tahu Kakakku merupakan lelaki yang sopan terhadap wanita. Hanya itu yang aku tahu.

Setiap malam sehabis mendengar cerita dan curhat Kakakku, biasanya aku menelpon Lulu atau sebaliknya. Sepertinya semua orang di sekelilingku terserang virus cinta. Lulu yang biasanya pendiam kini tidak berhenti-henti membicarakan sosok laki-laki yang mengajaknya berkenalan saat malam hari ketika ia pulang dari tempat kerjanya. Aku hanya bisa diam, tahu apa aku tentang cinta. Yang aku tahu cinta itu seperti rokok, saat kita isap dan ia masih bertengger di mulut kita terasa nikmat namun saat rokok habis, cinta hanya tinggal bau yang melekat pada bibir dan hilang lambat laun.

Terserah, itulah defenisi tentang cinta menurutku setidaknya aku dan Kak Rio sepakat tentang defenisi itu. terserah dengan Lulu terserah dengan siapa saja. Kini bau badan Kak Rio campur aduk bau rokok, bau cinta, dan bau minyak wangi bujang tua yang tersengat cinta. Mistis. Aku tidak tahu wanita yang memiliki rupa seperti apa yang bisa membuat kakakku jatuh cinta. Wanita pemilik pabrik rokok, mungkin. Pikirku sambil senyum-senyum sendiri.

“Kriiiiiiiiing” telepon rumah berdering, ternyata Lulu menelpon. “Di mana Lu?”, “Biasa di tempat kerja”, uhuk…uhuk Lulu batuk. “Kamu sakit”, ujarku. “Enggak, kok, cuma asap rokok”, Lulu batuk lagi. Lulu pernah bercerita padaku bahwa ia paling benci dengan rokok tapi kenapa ia rela bertelepon dikerubungan asap rokok. Mungkin karena frustasi atau stress ia kini menjadi pecandu rokok. Ah tak mungkin.

Kakakku pulang sambil senyum-senyum, sudah tiga hari ia absen curhat padaku. Tidak biasanya. Mungkin karena cinta. Cinta bisa buat lupa. “Kau masih berteman dengan Lulu?” pertanyaan yang mengejutkan bagiku. “Iya, kak, kenapa?”, jawabku. “Lulu itu wanita yang, ah, kau tahu sendirikan? Pulang malam. “Apa bedanya dengan kakak, pulang malam juga kan, kalau Lulu itu cari kerja. Kak, halal” tegasku. Kak Rio mencibir “Tahu apa kau tentang Lulu dan Halal. Hah”. Aku terdiam, tidak bisa berkata apa-apa lagi. “Lulu, Halal, Kakak?”. Tahu apa Kakak tentang Lulu, aku yang lebih tahu.

Aku menelpom Lulu penasaran apakah aku tahu semuanya tentang Lulu. “Halo, Lulu” gundukan pertanyaan menghujam otakku bertubi-tubi “Ia, ada apa?” sambil batuk Lulu menjawab. “Lu, kamu sakit?” tanyaku basa-basi campur penasaran. “Aku mau cerita Din”, Tanpa menunggu jawabanku Lulu mulai bercerita. “Aku sudah lama berpacaran dan sekarang aku hamil”. Aku terbelalak tak percaya “Ah, Lu, kamu bercanda kan?”. “Sumpah”, Lulu meyakinkan. Aku sangat mencintai pria itu. aku rela mengorbankan apa saja yang aku miliki. Kini cinta yang aku cari sudah aku temukan, di antara kepulan asap rokok dan puntung rokok. Kamu tidak perlu repot-repot mencari informasi tentang siapa laki-laki itu. “Siapa, Lu?”, aku penasaran. Laki-laki itu adalah Rio Kakakmu. Otakku memberi sinyal tak percaya namun hati lebih tajam. Firasat kini menjadi jawabannya. “Braak” , telepon itu kubanting. Aku berlari sambil menangis ke kamar Kak Rio. Nafasku tinggal setengah. Ku buka pintunya, tanpa permisi. Kak Rio sontak terkejut. “Kak, mau tau syaratnya untuk jadi sahabat, hati sudah tidak ada, Kau tahu yang ada adalah sahabatku harus tidur dulu dengan Kakak”. Kak Rio hanya diam. “Benar anggapanku tentang cinta. Cinta itu racun layaknya rokok penuh dengan racun. Aku tak percaya lagi dengan siapapun sekalipun pemilik pabrik rokok mendakwakan rokok itu bukan cinta.

Syaiful begitulah namanya, sederhana bagiku, dan mudah diingat. Saat aku baru membuka mata dari tidur lelapku, kira-kira jam enam pagi. Ia selalu melewati rumahku dengan sepeda tua warisan ayahnya. Ia berhenti tepat di depan jendela kamarku tetapi diselilngi oleh pagar beton rumah kami yang sangat kokoh. Ia membunyikan bel sepedanya “Kring…kring” sambil melemparkan gulungan kertas yang lumayan tebal. Gulungan kertas hitam putih yang selalu ada di rumahku tetapi bisa dihitung dengan jari kapan saja aku menggunakan. Kertas itu hanya kugunakan dan kupakai jika ada tugas dari guru untuk membuat kliping atau untuk alas sholat idul fitri di lapangan masjid. Ya, gulungan kertas yang aku maksud itu adalah koran. Koran yang ku anggap tidak berguna dan selalu aku anggap sepele ternyata bisa menghasilkan pundi-pundi uang buat Syaiful dan orang tuanya.

Aku kembali teringat kenanganku bersama Syaiful dan teman-teman yang lain saat bersepeda mengelilingi komplek rumah kami. Kami merasa bahagia, jika ada perlombaan tujuh belas agustus di komplek perumahan kami, apalagi lomba panjat pinang. Biasanya hadiah utama panjat pinang di komplek kami yaitu sepeda. Dulu sebelum aku memiliki sepeda Syaiful selalu setia memboncengku dan aku pun selalu bernyanyi bermacam-macam lagu jika diboncengnya. Keinginanku untuk memiliki sepeda begitu kuat, aku malu untuk minta dibelikan ibu sepeda karena baru saja ibu membelikan aku sepatu dan tas baru. Aku bukan anak yang selalu memaksakan keinginan kepada orang tua. Aku selalu berusaha menabung untuk membeli benda yang aku inginkan walaupun terkadang aku masih meminta uang tambahan dari ibu.

Ternyata pada saat 17 agustus, teman-temanku yang dikepalai oleh Syaiful mengikuti lomba panjat pinang dengan tujuan jika menang sepeda yang ada di puncak pohon itu menjadi milikku. Aku sangat terharu dengan teman-temanku. Aku menunggu di bawah dengan perasaan harap-harap cemas. Setelah beberapa kali jatuh, terpeleset, dan berlumuran oli, akhirnya sepeda itu menjadi milikku dan Syaiful dengan gagahnya mengibarkan bendera merah putih di atas pohon pinang itu.. Aku mengucapkan terimakasih kepada Syaiful dan teman-teman yang lain aku sangat terharu atas pengorbanan mereka.

Sekarang aku hanya bisa memandangi syaiful dari balik jendela. Setelah kecelakaan itu aku dilarang ibuku untuk menemuinya apalagi bermain dengannya. Saat bermain-main di pinggir jalan bersama Syaiful karena lengah saat menyebrang, tiba-tiba dari depan ada mobil kijang berwarna hijau melaju dengan cepat dan menabrakku. Aku langsung pingsan yang menabrakku melarikan diri, Syaiful dengan cepat membawaku ke rumah sakit. Ia menelpon ibuku. Setelah satu jam, Ibuku datang, belum sempat ia mengucapkan terimakasih, tamparan mendarat di muka Syaiful. Ibuku menyalahkan Syaiful karena semenjak ia memberikan sepeda kepadaku, aku selalu bermain di jalan-jalan sampai sore hari. Syaiful menangis tersedu-sedu, ia meminta maaf. Akan tetapi, ibuku sangat marah.

Aku hanya bisa terdiam karena kakiku sakit sekali. Kenudian datanglah dokter, ia berbincang sejenak dengan ibuku tetapi obrolannya sangat serius, aku hanya dapat melihat komat-kamit dan gerak bibir ibuku dan dokter. Ibuku menatapku dengan air mata, ia mencoba menenangkanku. Ia mencoba menjelaskan hal ini dengan lemah lembut. Kaki mu harus diamputasi kedua-duanya. Aku hanya dapat terdiam, kulihat Syaiful menangis dari luar kamar. Dari sorot matanya ia mengucapkan maaf. Akan tetapi, akulah yang seharusnya meminta maaf. Seandainya aku tidak lengah. Hal ini tidak akan terjadi. Ibuku keluar dari kamar, mataku mengikuti ibuku dan dari kaca aku melihat Ibuku menunjuk-nunjuk Syaiful dan menamparnya untuk yang kedua kali. Syaiful berlari pulang meninggalkan aku mungkin ia tidak tahan lagi. Aku menangis melihatnya. Maafkan aku Syaiful.

Kini kakiku telah diamputasi, sudah satu bulan ini aku tidak bertemu dengan dengan Syaiful. Teman-temanku yang lain menjenguk ku. Sikap ibuku sangat berbeda, ia menyambut hangat teman smpku kecuali Syaiful. Belum sempat menginjakkan di rumah, ibu sudah mengusir Syaiful. Syaiful sempat meminta izin dan membujuk ibu agar bisa menjengukku. Akan tetapi, ibu tetap tidak mengizinkan Syaiful masuk. Dina bercerita kepadaku dengan serius. Ternyata Syaiful menitipkan surat kepada Dina karena ia sudah menduga akan terjadi hal seperti ini. Surat dari Syaiful aku baca dengan seksama. Isi suratnya penuh dengan kata-kata maaf.

Daerah komplek kami yang begitu tenang kini berubah menjadi ramai, hiruk pikuk, dan panas. “Kebakaran…kebakaran. Teriak warga”. “Bu, cepat keluar ada kebakaran”. Ibu mendorong kursi rodaku. Kami keluar rumah. Api yang sangat besar itu menyala-nyala mengeluarkan asap hitam. Rumahnya sangat aku kenal. Itu adalah runah Syaiful. Kini api sudah merambat ke rumah penduduk yang ada di sekitar. Aku menatap sosok sahabat sejatiku, wajahnya hitam. Ada luka bakar sedikit di lengannya. Syaiful menangis, Ia berusaha menyelamatkan ayah dan ibunya yang sedang tertidur lelap. Akan tetapi, warga melarang karena api sudah semakin besar. Setelah datang mobil kebakaran yang berjumlah sekitar 12 unit. Api dapat dipadamkan kira-kira dua jam lamanya. Kemudian warga masuk dan membawa keluar mayat ibu dan ayah Syaiful. Syaiful menagis rumahnya sudah habis terbakar, ibu dan ayahnya sudah tiada. Ia sangat sedih. Aku ingin menghibur Syaiful menenangkan hatinya tetapi ibu cepat mendorong kursi rodaku kembali kerumah. Aku menangis, bagaimana mingkin seorang anak yang baru berusia 12 tahun harus hidup sendirian di muka bumi ini. Aku mencari berita tentang Syaiful dari Dina. Kini Syaiful tinggal di masjid dekat rumah. Ia bertugas menjadi tukang bersih di masjid dan tukang menjaga sandal jika hari jumat tiba. Syaiful tidak minta digaji, ia sangat senang bisa tinggal di masjid ini dan sekalian menambah pahala. Syaiful menganggap kebakaran ini menjadi peringatan baginya karena ia sangat jarang beribadah. Mungkin dengan adanya musibah ini, hatinya lebih tergerak untuk melakukan ibadah. Sebagai hasil tambahan, Syaiful bekerja menjual koran di pagi hari dan bekerja di rumah makan siang harinya. Waktu malam adalah hal yang sangat istimewa bagi Syaiful karena setelah sholat Isya Syaiful bisa beristirahat di masjid. Syaiful selalu berdoa agar ia bisa bertemu dengan aku. Kami adalah sahabat yang terpisah. Aku merasa kekosongan di dalam hati. Aku membujuk ibuku agar memaafkan Syaiful. Akan tetapi, ibu hanya diam saja. Aku membujuk dan memohon dengan ibu tetapi ibu hanya diam.

Aku hanya bisa memandangi Syaiful dri jendela. Syaiful juga hanya bisa memandangiku dari jauh. Aku mencoba untuk berkomunukasi dengan Syaiful tetapi tidak bisa. Gerak-gerikku selalu diawasi oleh ibu. Jika aku mencoba untuk berkomunikasi, aku takut Syaifullah yang menjadi sasaran amarah ibuku.

Aku mencari akal. Bagaimana caranya agar aku bisa berkomunikasi dengan Syaiful. Bisa berbagi tawa dan duka dengannya. Seperti dulu, saat kami berdua mendendangkan lagu kesayangan kami. Aku menjadi vokalis dadakan dan Syaiful dengan setia mendengarkan laguku yang sumbang dengan kepala digeleng-gelengkan sedikit. Masa yang sangat indah.

Bermalam-malam aku memikirkan cara agar bisa kembali seperti semula. Bersahabat dengan temanku. Tiba-tiba aku mendapatkan ide. Ide yang mudah untuk dilaksanakan. Aku akan menunggu di luar saat Syaiful mengantarkan koran pagi-pagi dengan alasan ingin menghirup udara segar di luar rumah. Mungkin dengan alasan ini ibu akan percaya dan megizinkanku.

Pagi hari saat udara masih dingin, aku keluar rumah dengan kursi roda. Untungnya ibu mengizinkan aku, dengan syarat aku tidak boleh terlalu jauh. Tiba-tiba “Kring…kring” sepeda tua itu datang. Syaiful denga cepat memarkirkan sepedanya dan terdiam menatapku. Begitu juga aku, aku hanya memandangi Syaiful dari dekat dan air mataku mulai meleleh di pipi.

Kemudian tanpa berkata-kata Syaiful pergi. Ia melemparkan koran ke dalam pagar. Tanpa sempat berkata-kata ia pergi dengan sepeda tua warisan ayahnya. Kupandangi badannya sampai hilang di perempatan jalan. Aku sangat sedih dan bertanya dalam hati. “Ada apa ini, mengapa Syaiful menjauh”. Aku berniat untuk menunggunya pagi besok.

Keesokan paginya aku menunggu Syaiful di depan rumah. Tidak lama sepedanya berhenti tepat di depanku. Seperti biasa ia melemparkan koran dan memberikanku kertas kemudian berlalu meninggalkanku. Ia meninggalkan sepucuk surat untukku.

Kepada Rina

Sahabatku yang hampir hilang

Aku adalah orang penakut yang tak bisa menjagamu. Akulah yang membuatmu menjadi seperti ini. Akulah yang membuat mu pindah sekolah dari sekolah yang indah dan banyak teman-teman sebaya yang normal ke sekolah anak cacat. Akulah yang membuatmu tidak bisa bersepeda lagi. Maafkan aku rina.

Syaiful,

Yang bersalah.

Aku menitikkan air mata dan menulis surat balasan untuk Syaiful. Pagi hari setelah Syaiful mengantarkan korannya aku memberinya surat balasan.

Kepada Syaiful,

Sang juara panjat pinang…

Walaupun aku cacat. Aku tidak bisa mengayuh sepeda seprti anak-anak lain. Akan tetapi, aku bahagia memiliki sahabat seperti kau. Bayangkan, aku belajar ketegaran dari dirimu. Tegar terhadap musibah yang kau hadapi. Aku menemukan sesuatu yang beda pada dirimu , sahabat yang tidak bisa digantikan oleh siapapun.

Rina,

Pelanggan koran

Nb: besok bawakan aku bubur ayam ya!

Syaiful membaca surat itu dengan tersenyum. Ia merasa lega. Usai magrib aku dipanggil ibu. Ternyata Ibu mengetahui aku masih berhubungan dengan Syaiful. Ibu meminta agar Syaiful mampir ke rumahku sejenak pagi besok.

Aku memberitahukan Syaiful bahwa ia dipanggil ibu untuk masuk. Aku meyakinkan Syaiful tidak akan terjadi apa-apa. Akhirnya, Syaiful masuk dengan sedikit ragu. Ibu langsung menyuruh Syaiful duduk. Tanpa di duga, ternyata Ibu mengizinkan Syaiful untuk tinggal di rumah karena aku anak tunggal dan ibu sangat bersimpati kepada Syaiful. Aku hanya hidup berdua dengan ibuku. Aku sempat heran mengapa ibu mengangkat Syaiful sebagai anaknya. Kini aku mempunyai seorang kakak yang selalu bersedia mengajak aku jalan-jalan dengan kursi rodaku. Jika aku kesulitan maka Syaifulah yang membantu dan selalu membuatkan aku bubur ayam untuk sarapan di pagi hari karena ia tahu bahwa aku sangat menyukai masakan ini. Kak Ipul begitulah panggilan baruku untuknya. Kini ia kembali bersekolah untuk mencari ilmu dan ia berjanji akan menjadi dokter agar bisa merawatku lebih baik.

About this blog

Pengikut

About Me

Foto saya
Aku di lahirkan di Palembang 18 Juni 1990,,,sekaRang LagI MErintis masa dEpan Aku mencoba berkarya walaupun aku hanya memiliki sedikit pengetahuan...cukup dengan karya hidup kita akan lebih berharga...

Labels